Fidyah
A. Kategori orang yang wajib membayar fidyah
1. Orang tua renta
Untuk Kakek atau nenek tua renta yang tidak sanggup menjalankan puasa, tidak terkena tuntutan berpuasa. Kewajiban berpuasa diganti dengan membayar fidyah. Batasan tidak mampu menjalan puasa adalah sekiranya dengan dipaksakan berpuasa menimbulkan kepayahan (masyaqqah) yang memperbolehkan tayamum (Syekh Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 1, hal. 428).
2. Orang sakit parah
Orang sakit parah yang tidak ada harapan sembuh dan ia tidak sanggup berpuasa, tidak terkena tuntutan kewajiban puasa Ramadhan. Batasan tidak mampu berpuasa bagi orang sakit parah adalah sekiranya mengalami kepayahan apabila ia berpuasa, sesuai standar masyaqqah dalam bab tayamum (Syekh Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfah al-Habib, juz 2, hal. 397).
3. Wanita hamil atau menyusui
Ibu hamil atau wanita yang tengah menyusui, diperbolehkan meninggalkan puasa bila ia mengalami kepayahan dengan berpuasa atau mengkhawatirkan keselamatan anak/janin yang dikandungnya. Dia wajib mengganti puasa yang ditinggalkan di kemudian hari, baik karena khawatir keselamatan dirinya atau anaknya. Mengenai kewajiban fidyah diperinci sebagai berikut:
a) Jika khawatir keselamatan dirinya atau dirinya beserta anak /janinya, maka tidak ada kewajiban fidyah.
b) Jika hanya khawatir keselamatan anak/janinnya, maka wajib membayar fidyah.
4. Orang meninggal
Dalam fiqih Syafi’i, orang meninggal yang masih meninggalkan utang puasa dibagi menjadi dua:
a) Tidak wajib difidyahi. Yaitu orang yang meninggalkan puasa karena uzur dan ia tidak memiliki kesempatan untuk mengqadha, semisal sakitnya berlanjut sampai mati. Sehingga tidak ada kewajiban bagi ahli waris perihal puasa yang ditinggalkan mayit, baik berupa fidyah atau puasa.
b) Wajib difidyahi. Yaitu orang yang meninggalkan puasa tanpa uzur atau karena uzur namun ia menemukan waktu yang memungkinkan untuk mengqadha puasa. Sehingga wajib bagi ahli waris/wali mengeluarkan fidyah untuk mayit bagi setiap hari puasa yang ditinggalkan. Sementara biaya untuk pembayaran fidyah diambilkan dari harta peninggalan mayit. Menurut pendapat ini, puasa tidak boleh dilakukan dalam rangka memenuhi tanggungan mayit. Sedangkan menurut qaul qadim (pendapat lama Imam Syafi’i), wali/ahli waris boleh memilih di antara dua opsi, membayar fidyah atau berpuasa untuk mayit.
Ketentuan ini berlaku apabila harta peninggalan mayit mencukupi untuk membayar fidyah puasa mayit, apabila tidak mencukupi wali/ahli waris tidak ada kewajiban untuk berpuasa maupun membayar fidyah bagi mayit, namun hukumnya sunah (Syekh Nawawi al-Bantani, Qut al-Habib al-Gharib, hal. 221-222).
5. Orang yang mengakhirkan qadha Ramadhan
Orang yang menunda-nunda qadha puasa Ramadhan padahal ia memungkinkan untuk segera mengqadha sampai datang Ramadhan berikutnya, maka ia berdosa dan wajib membayar fidyah. Fidyah ini diwajibkan sebagai ganjaran atas keterlambatan mengqadha puasa Ramadhan.
Syekh Jalaluddin al-Mahalli menjelaskan:
“Orang yang mengakhirkan qadha Ramadhan padahal imkan (ada kesempatan), sekira ia mukim dan sehat, hingga masuk Ramadhan yang lain, maka selain qadha ia wajib membayar satu mud makanan setiap hari puasa yang ditinggalkan, dan orang tersebut berdosa seperti yang disebutkan al-Imam al-Nawawi dalam Syarh al-Muhadzab. Di dalam kitab tersebut, beliau juga menyebut bahwa satu mud makanan diwajibkan dengan masuknya bulan Ramadhan. Adapun orang yang tidak imkan mengqadha, semisal ia senantiasa bepergian atau sakit hingga masuk Ramadhan berikutnya, maka tidak ada kewajiban fidyah baginya dengan keterlambatan mengqadha. Sebab mengakhirkan puasa ada’ disebabkan uzur baginya adalah boleh, maka mengakhirkan qadha tentu lebih boleh”.
B. Kadar dan Jenis Fidyah
Kadar dan jenis fidyah yang ditunaikan adalah satu mud makanan pokok untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Di Indonesia, makanan pokok bagi mayoritsnya adalah beras. Ukuran satu mud bila dikonversikan ke dalam hitungan gram adalah 675 gram atau 6,75 ons, Hal ini berpijak pada hitungan yang masyhur, di antaranya disebutkan oleh Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam kitab al-Fiqih al-Islami wa Adillatuhu. Sementara menurut hitungan Syekh Ali Jumah dalam kitab al-Makayil Wa al-Mawazin al-Syar’iyyah, satu mud adalah 510 gram atau 5, 10 ons.
C. Alokasi Fidyah
Seperti yang tertera dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 184,
“Wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang fakir atau miskin. Tetapi barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Syekh Khathib al-Syarbini menjelaskan:
“Boleh mengalokasikan beberapa mud dari fidyah kepada satu orang, sebab masing-masing hari adalah ibadah yang menyendiri, maka beberapa mud diposisikan seperti beberapa kafarat, berbeda dengan satu mud (untuk sehari), maka tidak boleh diberikan kepada dua orang, sebab setiap mud adalah fidyah yang sempurna. Allah telah mewajibkan alokasi fidyah kepada satu orang, sehingga tidak boleh kurang dari jumlah tersebut”. (Syekh Khothib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 2, hal. 176).
D. Waktu Mengeluarkan Fidyah
1. Membayar fidyah, pada hari itu juga ketika dia tidak melaksanakan puasa atau diakhirkan sampai hari terakhir bulan Ramadhan
2. Waktu akhir penunaian fidyah tidak dibatasi. Fidyah tidak mesti ditunaikan pada bulan Ramadhan, bisa pula ditunaikan bakda Ramadhan. Ayat yang mensyariatkan fidyah (QS. Al-Baqarah: 184) “tidaklah menetapkan waktu tertentu sebagai batasan. Fidyah ditunaikan sesuai kelapangan”.
E. Fidyah dengan Uang
Mayorits ulama mazhab empat, yaitu Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Pendapat ini berargumen dengan nash syariat yang secara tegas memerintahkan untuk memberi makanan pokok kepada fakir/miskin, bukan memberi jenis lain.
Sedangkan menurut Hanafiyah, fidyah dapat dibayarkan dalam bentuk qimah (nominal uang) yang setara dengan makanan, sebagaimana dijelaskan dalam nash Al-Qur'an atau hadits. Ulama Hanafiyah cenderung memiliki pemahaman yang longgar terkait teks dalil agama yang mewajibkan memberi makan kepada fakir miskin. Menurutnya, tujuan pemberian makanan kepada fakir miskin adalah untuk memenuhi kebutuhannya, dan tujuan tersebut dapat dicapai dengan membayar qimah yang setara dengan makanan. (Syekh Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqih Al-Islami Wa Adillatuhu, juz 9, hal. 7156).
Kembali